Pages

RSS

Selasa, 18 Januari 2011

Imunisasi: Berkah atau Racun?

“Tak masuk akal memikirkan bahwa Anda sanggup menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu akan meningkatkan kesehatan. Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang bergantung pada vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit/baik, tubuh akan mampu melawan semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun, tidak akan mampu. Dan Anda tidak dapat mengubah kesegaran tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun apapun juga ke dalamnya.”
~ Dr. William Hay, dalam buku Immunization: The Reality Behind the Myth

“Memangnya dari kliniknya tidak dikasih Mbak? Biasanya kan dikasih untuk pemeriksaan dan pemberian imunisasi selanjutnya” tanya salah seorang petugas posyandu ketika aku meminta Kartu Menuju Sehat (KMS) saat penimbangan berat badan Emira di bulan pertamanya. Agak sedikit salah tingkah menjawab pertanyaan itu dan dengan diplomatis kujawab “Wah lupa, Bu J”.

Tentu saja aku tak menjawab jujur, pasalnya Emira tidak diberi imunisasi/vaksinasi sedari lahir sedangkan ibu petugas posyandu tersebut sangat pro-berat imunisasi, daripada dicecar habis-habisan, terpaksa aku “berbohong” bahwa Emira sudah diberi imunisasi.

Kami (suami dan saya) sepakat tidak memberikan imunisasi/vaksinasi kepada bayi perempuan kami. Kami percaya imunisasi/vaksinasi yang selama ini diyakini masyarakat luas dapat mengurangi bahkan membasmi penyakit, sebenarnya hanyalah rekayasa.



Bukan kami tidak percaya pada dokter yang memang sangat ahli di bidangnya, namun terlepas dari itu semua, dokter di Indonesia yang notabene dididik oleh sistem dan teori kedokteran Barat jarang sekali mengadakan riset tentang imunisasi/vaksinasi, bahkan terlalu text book, hanya beberapa yang jujur menilai hitam-putihnya vaksinasi.

Seorang dokter kandungan di Yogyakarta, dengan jujur mengatakan bahwa ia sebenarnya tak setuju dengan imunisasi, bahkan jika ia pergi haji atau umrah tak pernah di vaksin meningitis. Namun, sebagai seorang dokter ia tak bisa berbuat banyak untuk mengampanyekan bahayanya imunisasi kepada orang lain.

Imunisasi/vaksinasi

Menarik jika kita menyimak wawancara Oprah Winfrey dengan Jenny McCarthy seorang selebriti Hollywood mantan tunangan Jim Carey. McCarthy mencurigai bahwa imunisasi atau vaksinasilah yang menyebabkan putranya, Evan, menderita autisme. (aku melihat Oprah Winfrey Show ini di Metro TV edisi 2010).

Hj Ummu Salamah Hajjam, seorang herbalis dan penulis buku, menguraikan bahan utama vaksin adalah kuman virus atau bakteri hidup atau mati, taksoid atau DNA dengan tambahan bahan tertentu, menjalankan berbagai fungsi dan biakan pembuatan vaksin.

Bahan vaksin tersebut antara lain; Alumunium (pembuatan vaksin DPT, Dapt, HB), Benzetonium Klorida (vaksin Antraks), Etilena Glikol (vaksin DPT, polio, HB sebagai bahan pengawet), Formaldehida/Formalin, Gelatin (vaksin Cacar air, MMR), Glutamat (Vaksin Varicela), Neocimin (MMR, Polio), Fenol, Streptomisin (vaksin Polio), Timerosal yakni pengawet yang mengandung 50% antimerkuri yang mempunyai banyak sifat yang sama dengan merkuri (air raksa)

Sementara Persatuan Pemerhati Vaksin Australia juga mencatat adanya bahan lain dalam vaksin, antara lain: Alumunium Sulfat, Ampotericin B, Kasein, Polysorbate 20 dan Polysorbate 80 (Tabloid Bekam, lihat: Edisi 4/Tahun 1/2010).

Pada dasarnya vaksinasi adalah upaya merangsang daya tahan tubuh seseorang dengan memasukkan bibit penyakit yang dilemahkan dan diproses dengan bahan lain. Di masa lalu vaksinasi menggunakan bahan dasar serum binatang, namun karena dampak buruknya yang besar, vaksin dimodernisir dengan bahan dasar bakteri dan virus.

Itu sama saja dengan menjauhi keburukan dengan memasukkan keburukan. Apakah agar ingin terhindar dari penyakit, kita harus disuntikkan bibit penyakit dulu baru kebal? Kan tidak!

Untuk memakai peralatan masak saja kita harus berhati-hati agar makanan tidak terurai dengan zat kimiawi (seperti teflon, alumunium, atau plastik), tentu menjadi aneh bila kita malah sengaja menyuntikkan puluhan bahkan ratusan zat kimiawi ke dalam tubuh anak kita yang masih balita dan belum tahu apa-apa. Kalau ya, kita amat tega, bukan?

Ini belum bicara soal status kehalalan dari vaksin tersebut yang—mayoritas—sampai sekarang belum mendapatkan sertifikat halal MUI. Menurut pengakuan pegawai Bio Farma, seperti dikutip tabloid Bekam (Edisi 4/I/2010), enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin Polio (IPV).

Membayangkannya saja tak kuasa aku. Suka sedih juga ketika dulu melihat keponakan yang demam beberapa hari setelah diimunisasi, rewelnya minta ampun. Bagian lengannya membengkak setelah diimunisasi Rubella. Setelah paham bahwa imunisasi/vaksinasi membahayakan, aku tak sudi memberikannya pada putriku.

Alhamdulillah, lima bulan usianya tak pernah sekali pun ia sakit, kecuali demam 37 derajat celcius, itu pun karena giginya hendak tumbuh. Pertumbuhan badannya juga bagus, beratnya sekarang 7,5 kg.

Nah, bila seorang pesohor Hollywood yang jauh dari nilai setauhidan saja sudah menabuh genderang perang dengan imunisasi/vaksinasi, masak kita masih tenang-tenang saja? Atau malah kita ingin anak-anak kita tumbuh bersama zat haram di dalam tubuh mungilnya?[]

Ilustrasi: http://medgadget.com

0 komentar:

Posting Komentar