Pages

RSS

Selasa, 18 Mei 2010

Ketika Naluri Seks Remaja Bergejolak


Masa remaja adalah masa peralihan dan ketegangan. Mereka mengalami kontradiksi emosi dan beban seksual (Sigmund Freud)

”Dia gay!” tunjuk seorang sahabat pada salah satu foto muridnya dahulu di sebuah pondok pesantren ternama di pulau Jawa.

Kaget dan panas dingin aku mendengar ceritanya pagi itu. Salah seorang muridnya dahulu terperosok kedalam jalan yang telah dikutuk Sang Pencipta ribuan tahun yang lalu.

”Kok bisa?” pertanyaan itulah yang meluncur pertama kali keluar dari mulutku. ”Apakah semenjak dari pesantren ia mengalami kecenderungan seksual yang salah?” tanyaku menuntut.

”Sebenarnya, aku merasa ada yang salah dari dirinya semenjak di pondok dahulu, ia terlalu feminim. Namun setelah kutanyakan, ternyata kecenderungan itu mulai muncul setelah ia keluar dari sana” jelas sahabatku.

”Ah lagi-lagi salah pergaulan” keluhku dalam hati. Problem pubertas seseorang bukan dipengaruhi dari faktor biologis semata, seperti apa yang dikatakan Sigmund Freud, namun juga dipengaruhi faktor sosiologis. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi ” Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nasrani ataupun Majusi” (HR Bukhari).

Hadis ini menunjukkan bahwa lingkungan di sekitarnyalah yang berperan besar dalam pembentukan karakter seseorang, termasuk orientasi seksualnya. Dalam kondisi seperti inilah, peran orangtua, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya sangat dibutuhkan agar mereka tidak mengalami krisis identitas maupun krisis pubertas.

Sayangnya dalam kasus remaja murid sahabat saya, lingkungan di sekitarnya tak mendukung ia tumbuh menjadi seorang laki-laki sejati. Di tengah kacaunya tali rumah tangga kedua orang tuanya, ia tak punya sesiapapun untuk berbagi. Di antara kegalauan suasana hatinya ketika ia berada dilingkungan baru yang asing setelah beberapa tahun hidup dilingkungan religi penuh kedamaian di pesantren, seseorang menawarinya masuk pada komunitas yang membawa sensasi baru dalam hidupnya. Seseorang itu telah membawanya jauh kedalam, melupakan kodratnya sebagai seorang laki-laki yang membutuhkan sosok wanita dalam hidupnya.

Ilmu yang dapat dari pesantren pun seakan pudar dimakan waktu, karena pembinaan dari keluarga kurang memadai. Ia terlampau polos ketika bergaul di komunitas baru yang serba bebas, tidak seperti di pesantren yang dipenuhi berbagai aturan. Apalagi motifnya ketika masuk pesantren masih absurd kala itu, karena dipaksa orangtuanya, sehingga pelajaran agama yang sangat berharga yang ia dapat dari sana cepat menguap.

”Ia pernah bertanya padaku, apakah perbuatan homoseksual bisa diampuni? Walaupun aku tahu, bahwa orang yang berhubungan badan lewat dubur harus dibunuh, namun aku menenangkannya bahwa perbuatannya itu bisa diampuni asalkan ia mau bertobat” tambahnya, sesekali ia menghapus air matanya yang menggenang dipelupuk matanya. Terlihat kesedihan dan kekecewaan disana.

”Aku pun pernah mengingatkannya akan ancaman bahaya HIV AIDS, namun sepertinya pengaruh teman sesama jenisnya sangat kuat, ia cuek saja. bahkan bilang bahwa aku tak tahu bahwa seorang gay tetaplah akan menjadi gay, tak akan bisa berubah” sesalnya.

Sebuah ironi memang, lulusan sebuah pondok pesantren telah berubah sedrastis itu. Dalam hal ini saya tidak menyalahkan pesantren yang telah membimbing dia bertahun-tahun. Namun dalam kasus ini, wajiblah kiranya pesantren menambahkan kurikulum Pendidikan Seks Islami terhadap anak didiknya.

Pada dasarnya masih banyak santri-santri yang awam akan masalah ini terutama santri usia SD-SMP, mereka sungkan bertanya pada pembimbingnya. Yang mereka tahu bahwa di pondok pesantren, ada berbagai larangan dan aturan mengenai pergaulan antar lawan jenis dan larangan membuka aurat tanpa penjelasan yang detail dan masuk akal menurut pemikiran mereka, dilain pihak informasi mengenai seks dengan ragamnya tersebar diberbagai media tanpa sensor.

Namun yang paling utama, adalah peran orangtua-lah yang paling dominan menyampaikan hal ini bahkan sebelum anak-anaknya mencapai akil baligh, atau setidaknya sampai mereka berbaur dengan berbagai kalangan disekolah dan lingkungannya.

Aku pun termenung, dalam tiga bulan kedepan Allah akan menganugrahiku seorang anak, maka tanggung jawabku sebagai orangtuanya, menyiapkan hal ini dari sekarang. Agar suatu hari nanti ia tidak bingung bahwa di lingkungannya tidak saja ada hitam dan putih melainkan pula ada warna lain yang dapat menyesatkannya ketika mengambil sebuah keputusan.




0 komentar:

Posting Komentar