Pages

RSS

Minggu, 21 Maret 2010

Adinda, Kisah yang Disia-siakan


“Kau bunga ditaman, nyalakan mekarmu dipagaridari sucinya hati, seorang wanita terpelihara. Ia bagai menduga, kembangmu tetap indah dari nur keimanan menjulang dijiwamu...”
diambil dari penggalan sebuah Nasyid..
           
            Sebut saja namanya Adinda, seorang perempuan cantik, wajahnya mirip salah seorang aktris sinetron Indonesia, ia bagaikan kembang yang baru mekar, harumnya semerbak ditaman hingga banyak kumbang yang ingin mengecap madunya. Namun sebagai seorang wanita yang sadar akan fithrahnya ia menjaga baik kesuciannya, walaupun baru setahun mengecap manisnya hidayah, ia sudah menjalankan syariat sepenuh hati.
            Tibalah masanya di kala ia harus menentukan seorang pendamping hidup. Seorang karib menawarinya seorang pemuda shalih nan bersahaja, di sisi lain ada pula seorang pemuda yang telah mapan menawarkan indahnya mahligai rumahtangga. Sebagai pribadi yang ingin menegakkan sunnah Rasul ia pun lebih memilih pemuda shalih dibandingkan pemuda lain yang telah mapan itu, karena ia menginginkan rumah tangga yang dihiasi oleh perhiasan surgawi, bukannya perhiasan duniawi.
            Singkat cerita, menikahlah mereka. Tepat dimalam pertama, ketika malam yang biasanya diwarnai oleh tawa manja kedua pasangan pengantin baru, nyatanya diisi oleh isak tangis Adinda.. Malam itu ia bertukar kisah hidup dengan suami yang baru beberapa jam yang lalu mengucapkan ijab kabul, awalnya indah sampai pada kisah Adinda yang menyatakan baru setahun mengikuti halaqah. Tiba-tiba wajah sang suami berubah menjadi tak bersahabat, ia murka,ia merasa ditipu mentah-mentah, iapun tak sudi menyentuh wanitanya.
            Adinda bertanya kenapa suaminya bersikap seperti itu, apakah ada yang salah dengan ceritanya, namun jawaban sang suaminya membuat ia menelan kekecewaan yang mendalam, ternyata si karib yang pernah menjadi perantara mereka telah tak jujur. Si karib mengatakan pada si pria shalih bahwa Adinda telah lama mengikuti halaqah dan menjadi aktivis Islam. Entah apa alasan si karib tersebut. Namun sang suami tak pernah mau memaafkan si karib dan Adinda, dan ia pun tak pernah sekalipun memenuhi tugasnya sebagai seorang suami yaitu menafkahi batin istrinya.
            Beberapa bulan kemudian, suaminya pergi meninggalkan Adinda untuk pergi merantau ke pulau lain diseberang lautan. Walau tanpa ada kabar berita sedikitpun pada Adinda, ia tetap sabar menunggu, ia pun mendatangi keluarga suami dan tinggal di sana sebentar, hanya untuk memenuhi rasa rindunya pada sang suami yang telah lama meninggalkannya tanpa ada kabar berita. Setelah setahun suaminya kembali dari perantauan, sayangnya yang pertama ia temui bukanlah Adinda, melainkan keluarganya sendiri.
            Betapa sakitnya perasaan Adinda, ia yang selama ini dengan sabar menunggui suaminya, memendam rasa rindunya yang begitu membuncah, dan selalu menjaga kesucian dirinya hanya untuk sang suami, hanya mendapatkan kekecewaan. Tak sedikitpun senyum atau kata cinta terucap dari bibir suaminya. Adinda pun merasa putus asa menantikan cinta balasan yang seperti asa itu. Sampai akhirnya Allah membuka jalan, suaminya akhirnya memutuskan untuk berpisah selamanya. Walau itu keputusan yang sangat pahit, namun itu yang terbaik bagi Adinda, karena suaminya tak pernah mau membuka hati dan pintu maaf atas kesalahan yang mungkin bisa dibilang sepele. “
* * *

            Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab r.a.ingin menilai seorang laki-laki yang datang kepadanya memohon agar diberi jabatan dalam pemerintahan. Umar r.a. berkata padanya, “Bawa orang yang mengenalmu ke sini!” Lelaki itu pulang dan kembali membawa seorang teman. Lalu Umar r.a bertanya kepada orang itu, ”apakah kau kenal orang ini?”
“Ya” jawabnya. “Apakah kau tetangganya, dan tahu keadaan yang sebenarnya?” tanya Umar lagi
“Tidak” kata orang itu. “Apakah kau pernah menemaninya dalam perjalanan, sehingga kau tahu pasti perangai dan akhlakanya,” Umar pun terus bertanya mengenai laki-laki yang meminta jabatan kepadanya. Orang tersebut selalu menjawab tidak, sampai ketika Umar bertanya apakah orang itu mengenal laki-laki tersebut ketika berdiri dan duduk di mesjid, dan orang itu pun mengiyakan. Akhirnya Umar menyuruh orang itu kembali datang dengan orang yang benar-benar mengenalinya.
* * *

            Kisah percakapan Umar bin Khaththab tersebut harusnya dijadikan hikmah bagi orang-orang yang hendak mau menikah, agar kisah yang saya tuliskan di atas tak terjadi lagi. Sebelum menikah hendaklah mencari informasi calon pasangan kita sedemikian lengkap agar tak terjadi kekecewaan setelah menikah nanti, sehingga dapat tenang dalam menjalankan ikatan suci itu.
            Namun sungguh disayangkan memang atas nama dakwah, sang suami hanya menilai ketaqwaan seseorang hanya berdasarkan lama-sedikitnya ia mengikuti kajian Islam. Prinsip sih boleh-boleh saja, namun jika sudah mengenai kehormatan seorang wanita yang telah dinikahinya, baiknya ia membuka pintu maaf atas kesalahpahaman tersebut, toh dari cerita yang saya dapat, si istri sangat setia dan menjaga kehormatannya walau si suami pergi entah kemana tanpa ada kabar yang jelas.
            Pernikahan adalah Mitsaqan Ghaliza (perjanjian yang berat), sehingga orang-orang yang telah terikat dalam tali pernikahan diharamkan untuk main-main. Kecewa terhadap pasangan setelah menikah adalah hal yang wajar karena pada dasarnya tidak ada orang yang sempurna didunia ini, namun cara menyikapinya tak harus sereaktif itu, apalagi menyia-nyiakan anak gadis orang lain. Selain ia telah mempermalukan keluarga besar keduanya, ia juga telah mempermalukan seorang wanita shalih, yang seharusnya kehormatannya ia jaga baik-baik, tidakkah ia menyadari rasa malu yang dirasakan seorang perempuan ketika khalayak bertanya-tanya akan nasibnya.
            Mestinya kita belajar pada Ummu Sulaim r.a, salah seorang sahabiyah Rasulullah SAW, beliau mau dan menerima Abu Thalthah, -yang pada waktu itu belum beriman- hanya dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Ia membimbing suaminya ke dalam keyakinan barunya, sehingga Abu Thalthah pun dapat bermetamoforsa menjadi salah satu sahabat Rasulullah yang dimuliakan Allah SWT. Alangkah indahnya bila dalam sebuah ikatan pernikahan, suami dapat menerima kekurangan istri begitupun sebaliknya, alangkah tenangnya jika mereka saling memaafkan atas kesalahan masa lalu dan membuka lembaran baru yang bersih dalam menjalankan pernikahannya, dan alangkah mulianya jika suami membimbing istrinya yang masih sedikit keilmuannya menjadi pribadi yang mulia, dan dapat menjadi pendampingnya hingga yaumil akhir kelak..wallahu'alam.

0 komentar:

Posting Komentar