Pages

RSS

Selasa, 23 Maret 2010

Dan Ia Pun Pergi Dengan Luka


Kenangan adalah anugrah Tuhan yang tak dapat dihancurkan oleh maut
Kahlil Gibran 

            Wanita itu hanya tersenyum getir ketika orang-orang menanyakan kebenaran berita tentang permasalahan dikeluarganya. ”Tanya saja suami saya!” jawabnya singkat sambil berlalu pergi meninggalkan orang-orang yang bertanya-tanya. Hatinya terguncang.
            ”Sayalah yang memilihkan” ungkapnya suatu hari setelah kejadian tersebut. ”Saya melakukannya untuk dakwah dan menjalankan Sunnah Rasul,” tambahnya dengan senyum yang berarti ganda.
            Ummi Nisa, wanita tabah itu dengan berat hati merelakan suami yang telah ditemaninya selama belasan tahun, dan telah memberinya sembilan orang jundi-jundiyah itu beristri lagi. Poligami, begitu kata yang di takutkan para istri, akhirnya dirasakannya.
Madunya adalah seorang janda muda dan cantik, mantan karyawan di perusahaan suaminya. ”Suami saya sering tinggal di ibukota meneruskan study-nya, saya tidak mungkin meninggalkan anak-anak” jelasnya lagi, ”Supaya lebih fokus belajar, Abi harus ada yang menemani, alhamdulillah mba Nadira sangat cocok buat suami saya”
            Entah terbuat dari apa hatinya, ia sangat pemurah dan tabah. ”Aku tahu Ummi Nisa sangat menderita” ungkap salah seorang anak asuhnya padaku, ”kadang ia sering nginap di panti kalau Abi sedang dirumah istri keduanya, hanya sekedar menghibur diri dan mengusir rasa sepi” ujarnya ketus. Aku tahu banyak orang yang kecewa akan keputusan berani itu, termasuk anak asuh pasangan itu, namun begaimanapun juga itu hak pribadi mereka dan orang lain tidak berhak ikut campur.
            Selama ini pasangan itu merupakan pasangan yang sangat ideal bagi sebagian orang, ”menginspirasi” kata mereka, terutama bagi para karyawan perusahaan suaminya yang cukup menggurita di sebuah kota di pulau Jawa. Pasangan itu merintis usaha dari nol, jatuh bangun mereka selalu bersama-sama.
Satu-persatu anak mereka lahir seiring berkembang usaha suaminya. Rumah makan, hotel, butik sampai mini market usaha keluarga itu terus tumbuh dan berkembang pesat. Yayasan panti asuhan putra dan putri di dirikan sebagai rasa syukur pada Sang Khaliq atas limpahan rizki yang melimpah.
Ummi Nisa tahu walaupun usaha keluarganya sedang pesat, namun suminya tak pernah berhenti mencari ilmu. Ia mendukung penuh agar suaminya belajar lagi, meskipun ia sering ditinggal pergi. Ketika suaminya sedang diluar kota, Ummi Nisa dan beberapa orang kepercayaan suaminya yang menghandle segala urusan perusahaan, dan satu kalipun tak pernah ada masalah.
”Di tempat abi belajar banyak godaannya, gimana kalau abi menikah lagi, Mi?” pinta suaminya suatu hari, “Agar Ummi lebih fokus mendidik anak-anak dan menjalankan perusahaan jika abi berada diluar kota” bujuknya. Seperti tersambar listrik ia mendengar permintaan suaminya, sesaat ia terdiam namun ia sadar akan posisinya, ia pun ingin dicap sebagai wanita surga yang mengikhlaskan suaminya menikah lagi untuk kepentingan dakwah.
”Ummi memang yang memilihkan, tapi sebenarnya ia tak tahu rencananya kapan. Tahu-tahu abi menikah” ungkap anak asuhnya sedih, saat terungkap oleh khalayak pernikahan suaminya. Aku heran dari mana ia tahu kebenaran itu, awalnya aku sedikit menyangsikannya. ”Semua keluarga besar  termasuk yayasannya tahu kok, Teh” jelasnya. Mau tak mau akupun percaya cerita sang anak asuh, karena ia lumayan dekat dengan Ummi Nisa, dan setahuku ketika aku mengajarnya disebuah pesantren, ia termasuk anak yang jujur. Ia juga cukup dekat denganku.
Salah jika orang-orang menyangka Ummi Nisa wanita biasa sehingga suaminya tertarik untuk menikah lagi. Ia wanita yang luar biasa, cantik, tak tampak kerut merut diusianya yang lebih dari empat puluh tahun, badannya tetap semampai meski ia telah melahirkan sembilan nyawa. Kata-katanya lembut, sangat anggun dengan jilbab dan gamisnya yang lebar. Gambaran wanita shalihah yang ideal. Pernah aku bertemu langsung dengannya beberapa kali, sungguh seakan-akan bunga-bunga bertebaran ketika ia berjalan. Konon bagi sebagian orang istri kedua suaminya dari penampilan fisik memang lebih cantik, namun Ummi Nisa mempunyai inner beauty yang memancar diwajahnya, sehingga terlihat jauh lebih anggun dan berwibawa.
Aku tak tahu dan tak mau tahu alasan suaminya mendua, cukup berhusnudzan ini semua demi kepantingan dakwah dan kemashlahatan keluarga tersebut. Dan aku cukup mendoakan agar keluarga itu baik-baik saja, walau aku tahu seshalih apapun, seorang wanita pasti sakit hatinya ketika berbagi suami dengan wanita lain.
Namun apalah daya semua tak selalu berakhir bahagia. Keanehan demi keanehan terjadi setelah suaminya menikah lagi. Bermula dari pembagian hari yang tidak adil. ”Ummi malah bersyukur, sekarang Ummi punya banyak waktu luang untuk mengabdikan diri pada ummat” ujarnya mencoba tegar, ketika suatu hari kami bertemu. ”Dulu Ummi tidak sempat, namun Allah memberi rizki itu dan sekarang waktunya Ummi berkarya”. ”Benarkah?” tanyaku dalam hati.
”Aku kecewa teh” suatu hari tiba-tiba anak asuhnya menghubungiku setelah ia lulus dari pondok pesantren tempatku bekerja dulu. ”Sebenarnya Ummi telah dicerai Abi” tangisnya pilu. Seperti kilat disiang bolong aku mendengar kabar itu, antara percaya dan tidak, tapi tidak mungkin ia berbohong. ”Semua orang menyayangkan keputusan Abi, keluarganya sendiri sangat terpukul dan kecewa”. ”Apa alasannya Dek” tanyaku penasaran. ”Ga tau Teh, tapi Abi sempat bilang kalau Ummi tidak bisa mendidik anak”.
Aku memang pernah mendengar, kalau anak-anak mereka sangat dekat dengan istri keduanya. ”Itu karena mba Nadira sangat memanjakan anak-anak, ia sering ngajak main ke mall, bahkan keluar negeri. Kalau Ummi lebih menekankan pendidikan agama” kata anak asuhnya menjelaskan panjang lebar alasan kenapa anak-anaknya lebih nurut terhadap istri keduanya. ”Sebenarnya Ummi sudah tak tahan, tapi ia masih bersabar, meski abi sering membawa semua anaknya ke rumah istri keduanya. Makanya Ummi sering ke panti.”
”Tapi itu bukanlah alasan yang tepat untuk menalak tiga Ummi secara agama, sebagai istri, Ummi selalu menjalankan kewajibannya dengan baik, tapi Abi benar-benar berubah, ia kurang menghargai usaha Ummi. Lalu aku harus bagaimana Teh?” tanyanya padaku. Aku tak tahu harus berbicara apa. Jujur, hatiku menangis pedih, aku bisa merasakan nelangsanya hidup Ummi Nisa. Selama dua puluh tahun ia mati-matian mempertahankan pernikahannya, mendampingi suaminya ketika ia kelelahan, mendukungnya ketika ia kesusahan, tapi tragisnya, kini ia terbuang dan tersia-sia. Aku bertanya-tanya kemanakah perginya ia setelah bercerai dengan suaminya? Yang pasti ia akan selalu kesepian secara psikis dimanapun ia berada karena ia tak diperkenankan membawa serta anak-anaknya walau yang terkecil sekalipun.
”Berdoalah untuk kebahagiaan Ummi Nisa, Dek, semoga Allah menegarkan hatinya, dan menjadikannya wanita yang mulia” saranku ”Berprestasilah, itu adalah salah satu cara mengobati luka hatinya, ketika ia sendiri tidak dapat bertemu atau merayakan kesuksesan anak-anaknya” tambahku. Hanya itu yang bisa ku sarankan padanya.
”Tuh kan, wanita lagi yang jadi korbannya” seruku pada suamiku, ketika pembicaraan dengan sang anak asuh berakhir. ”Kasus poligami kadang banyak menyakiti wanita, baik yang pertama atau yang kedua. Kalau mau tuh coba benar-benar ikuti sunnah Rasul, poligami dengan janda yang lebih tua dari istri pertamanya, tujuannya untuk menolong dan melindungi” ucapku sengit. Suamiku hanya mengelus kepalaku melihat aku begitu kesal dan kecewa ketika mendengar kabar tersebut.
Seorang istri ibarat tiang keluarga, manakala tiang itu rapuh maka runtuhlah semua pondasi rumah tangga itu, begitu sebaliknya jika ia kokoh, rumah tangganya akan berdiri tegak hingga akhir usia. Seorang istri yang shalihah akan setia mendampingi suami tercintanya merintis dari bawah. Ia kan terbangun di sepertiga malam untuk mendoakan suaminya agar diberi keselamatan, kesehatan, kesuksesan dan iman yang teguh. Ia juga yang mengurusi segala urusan rumah tangga, keuangan, perlengkapan, makanan, dan terkadang ia sendiri yang menyemir sepatu kerja sang suami atau membetulkan atap rumah yang bocor. Ia lah yang membesarkan anak-anak mereka dengan penuh cinta dan keikhlasan. Tak pernah mengeluh walau sang suami lupa ulang tahun pernikahan atau sekedar menanyakan kabar sang istri. Namun apakah setelah semua keadaan membaik, sang istri akan dilupakan begitu saja ketika ada wanita lain yang menggoda hatinya?
 Aku jadi teringat sebuah kisah tentang sepasang suami istri di daerahku. Kisahnya berbalik 100% dari kisah diatas. Setelah belasan tahun menikah, mereka belum juga di karuniai keturunan. Istrinya meminta suaminya untuk menikah lagi, ia yang memilihkan istri kedua suaminya, bahkan ia sendiri yang melamarkannya. Suaminya hanya mengikuti semua rencana istrinya. Setelah menikah lagi, keluaga itu hidup rukun, sang suami sangat adil dan disiplin mengatur keluarganya. Akhirnya Allah memberikan anugrah yang selama ini dinanti-nantikan keluarga tersebut. Sang istri mengandung, namun bukan dari istri keduanya, melainkan istri pertamanyalah yang pada saat itu usianya hampir mencapai kepala empat. Sekarang anaknya sudah dua, dan semuanya berasal dari rahim istri pertamanya. Begitulah Allah Maha Adil terhadap hamba-hambanya yang selalu bersyukur dan menjalankan keadilan didalam memimpin sebuah keluarga.
”Hanya laki-laki bodoh saja yang telah menyia-nyiakan istri pertamanya yang begitu setia” kataku suatu ketika. ”So hati-hatilah Mas jika ingin mendua, salah-salah hanya akan menyakitiku dan anak-anakmu, ingat setiap luka hati istri akan dicatat oleh para malaikat” ancamku pada suami, dan lagi-lagi ia hanya mengelus kepalaku dan tersenyum..

0 komentar:

Posting Komentar