Pages

RSS

Senin, 15 Maret 2010

Kerinduan Istri Sang Imam



Saya gak enak minta anak-anak untuk bantu saya berangkat haji. Insya Allah masih ada jalan rezeki buat saya pergi ke sana.

”Duduk di sini saja, Mbak” ujar seorang ibu berkacamata menawariku tempat duduk di lantai masjid. Ketika itu, aku tengah menunggu suamiku yang sedang berkonsultasi kesehatan pada imam masjid di kampung kami mengontrak. Suasana subuh di bulan Ramadhan tahun ini cukup panas. Kami lebih suka duduk di lantai karena hawanya lebih sejuk.
”Bapak pintar pijit refleksi ya, Bu?” tanyaku padanya.
”Ya begitulah, cukup banyak, sampai Bapak dulu pernah masuk rumah sakit karena kecapekan saking banyaknya pasien,” terang ibu itu.
Ibu paruh baya itu tidak lain istri sang imam masjid tersebut: Bapak Haji Suhudi, B.A. Bu Suhudi biasa kami memanggilnya. Nama asli ibu yang rendah hati itu Farida; nama yang bagi sebagian besar warga di dusunku terdengar asing. Maklum saja, ketika seorang wanita sudah menikah, di dusun itu ia akan lebih sering dipanggil dengan nama suaminya. Tidak heran, nama asli terlupakan, terlebih bagi para pendatang seperti aku atau Bu Suhudi.
Bu Suhudi dan suaminya bukanlah warga asli Sembuh Kidul, dusun yang kami tinggali itu. Tempat asalnya dari desa Moyudan, sekitar lima kilometer dari tempat yang kami tinggali sekarang. Kedua dusun ini masuk wilayah Sleman, dan termasuk bagian barat kota Yogyakarta.
”Bapak dan saya datang ke sini dari tahun 70-an akhir. Desa saya di sebelah barat dusun ini. Dulu kalau Bapak pergi ke kantor, bapak sering lewat daerah sini. Bapak miris karena di dusun ini, walaupun penduduk Muslimnya mayoritas, belum ada masjid. Awalnya Bapak sering ngasih ceramah, terus akhirnya Bapak berinisiatif membangun masjid. Alhamdulillah, ada yang mau mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid dan pemerintah desa memudahkan dalam pemberian izin. Masjid ini dinamakan At-Tauhid, karena untuk meluruskan akidah masyarakat yang terjual pada kaum palang,” jelas  Bu Suhudi fasih padaku, sambil menunjukkan jari telunjuknya yang membentuk tanda salib.
Dari cerita yang aku dengar dari para tetanggaku, dusun Sembuh Kidul—yang masuk wilayah kecamatan Godean, kabupaten Sleman—semula mayoritas penduduknya beragama Islam walaupun banyak yang ’berstatus’ abangan. Namun karena masalah ekonomi dan tak tersedianya guru mengaji, banyak yang berpindah agama. Saat ini, hanya tinggal separuh warganya yang masih mengakui Islam sebagai agamanya. Bukan rahasia, Sembuh Kidul dan beberapa dusun tetangganya terbilang kawasan penyebaran kristenisasi. Gereja terbesar di Yogyakarta bagian barat pun hanya terpisah jarak sekitar 150 meter dari masjid yang dirintis suami Bu Suhudi. Tak aneh jika denting genta gereja dan himne para penganutnya terdengar jelas oleh jamaah shalat Isya kala misa malam Minggu diadakan.
* * *
Bu Suhudi merupakan sosok istri setia yang mendampingi suaminya berdakwah. Selama bertahun-tahun, ia menemani sang suami pulang-pergi dari rumahnya di Moyudan ke At-Tauhid untuk mengajarkan pelajaran mengaji Kalam Ilahi. Ketika itu, putra-putri pasangan ini masih banyak yang kecil-kecil. Mereka harus mendampingi buah hatinya di rumah, dan pada saat sore hari barulah ”bertugas” mengajarkan Al-Qur`an.
”Murid saya dulu ratusan, mereka berasal dari seluruh pelosok kecamatan di Godean,” terang Bu Suhudi dengan mata menerawang. Ada semacam kenangan pada anak didiknya, yang coba untuk terus digali. ”Sekarang semakin sedikit yang mengaji di sini.”
Bu Suhudi bercerita padaku soal penyebabnya. Menurutnya, di antara murid-muridnya itu tak sedikit yang (setelah lulus) mendirikan TPQ (Taman Pendidikan Qur`an) di dusunnya masing-masing. Sehingga, orangtua-orangtua yang berasal dari dusun-dusun yang letaknya jauh dari At-Tauhid, cukup mengantarkan putra-putrinya di masjid atau musala di dekat rumahnya. Untuk keadaan ini. Bu Suhudi sepertinya memaklumi atau bahkan bersyukur. Sayangnya, syukur Bu Suhudi masih koma.
”Sedikitnya peserta TPQ At-Tauhid sekarang ini juga disebabkan karena orangtua lebih senang memasukkan buah hatinya ke bimbingan belajar dibandingkan belajar Al-Qur`an.”
Aku tak begitu paham; apakah demi mempertahankan predikat Kota Pelajar, sebagian orangtua Muslim di Yogyakarta lebih memilih mengejar kesuksesan di bangku sekolah formal dan mengorbankan pelajaran keagamaan yang mendasar pada anak-anaknya?
* * *
”Bangun masjid ini juga perlu perjuangan, Mbak. Bapak harus mencari dana ke Jakarta, minta ke teman-temannya untuk pembangunan masjid ini.”
Bukan untuk jumawa Bu Suhudi bercerita padaku soal kerja gigih suaminya. Sang suami memang harus berjibaku bila tekadnya untuk membangun Rumah Allah terwujud. Maklum, menurut Bu Suhudi, ”Walaupun orang Muslim di Sembuh Kidul banyak yang kaya, tapi kesadaran bersedekahnya kurang.”
Alhamdulillah, atas izin Allah, ada teman Pak Suhudi yang mau membiayai pembangunan masjid beserta rumah yang diperuntukkan untuk pasangan itu selama berdakwah di Sembuh Kidul. Hingga akhirnya terbangunlah sebuah masjid yang terbilang besar untuk ukuran masyarakat Yogyakarta. Setahuku, At-Tauhid segelintir di antara masjid-masjid di Yogyakarta yang memiliki jalan masuk bagi jamaah yang berkebutuhan khusus (difabel) bila ke hendak shalat atau mengaji.
Tapi perjuangan belum selesai dengan berdirinya masjid megah itu.
”Dulu sebelum bangunannya bagus seperti ini, jamaah di sini banyak. Sampai penuh ke luar teras,” jelas Bu Suhudi. Bukan sekali aku mendengar informasi ini. Beberapa tetanggaku juga pernah menceritakan hal ini. Sama, dengan nada getir.
Bu Suhudi kemudian bercerita lancar. Ketika itu, At-Tauhid diramaikan dengan kegiatan keislaman. Tiap sore ada TPQ bagi anak-anak. Selepas Maghrib, banyak remaja mengaji. Setelah Isya, giliran para orangtua yang belajar mengaji.
”Saya dan Bapak rela pulang malam pergi pagi untuk mengajarkan mereka mengaji. Saya tidak capek, malah saya senang bisa beramal. Tapi ya itu, sekarang banyak yang berubah. Fasilitas makin bagus, malah gak dimanfaatkan.”
Aku amat memaklumi, bila gurat kesedihan tak bisa ditutupi Bu Suhudi. Namun aku percaya, guratan itu bukan sebuah keputusasaan.
”Setelah bangunannya bagus, jamaahnya malah menyusut, dua baris saja saya sudah senang.”
Kalimat ini masih mengiang di telingaku, namun ini seperti sebuah memorabilia sekaligus karang peneguhan perjuangan Bu Suhudi bersama sang suami. Terbukti, sampai sekarang ia bersama suaminya, dengan dibantu dua tenaga pengajar dari warga lokal, masih tetap setia mengajarkan baca Al-Qur`an kepada anak-anak warga di sekitar At-Tauhid. Bila dulu harus bersusah payah menempuh jarak yang cukup jauh untuk mengajar, kini Bu Suhudi dan suaminya cukup melangkahkan kaki ke masjid dari rumah yang dibangun atas swadaya para koleganya.
Rumah mungil itu telah berdiri kokoh di samping At-Tauhid. Rumah kecil yang memiliki dua kamar itu memang hanya ditinggali olek kedua kakek-nenek ini. Di balik kebersahajaannya, halaman rumah itu sangat asri. Mereka sangat menyayangi tanaman, halamannya ditumbuhi dengan berbagai macam sayuran dan tumbuhan apotek hidup yang cukup langka—seperti beluntas dan kenikir. Banyak orang yang meminta tanaman itu termasuk aku, dan keduanya akan memberikannya dengan senang hati.
* * *
”Bapak sudah berhaji, Bu?” Pertanyaan ini sebetulnya sekadar basa-basi, karena tokh aku sudah tahu jawabannya.
”Sudah, Mbak” jawabnya singkat.
”Ibu sendiri bagaimana?” tanyaku lagi, masih basa-basi. Tapi jawaban berikut dari Bu Suhudi di luar sangkaanku.
”Belum, Mbak,” jawabnya dengan khas logat Yogya namun sarat optimisme.
”Mengapa tidak bareng Bapak, Bu?” tanyaku penasaran.
Pengennya sih bareng, tapi ya dananya tidak memungkinkan. Dulu Bapak berangkat haji dibiayai oleh Depag (Departemen Agama). Bapak dipercaya jadi ketua rombongan haji. Saya sudah nabung untuk berangkat haji, sudah lama saya ngumpulin uang. Tinggal nambahin sedikit lagi. Tahun ini mestinya saya berangkat. Namun ternyata belum rezeki saya untuk ke Tanah Suci. Banyak sekali ujiannya. Uang saya terpakai untuk pengobatan Bapak dan anak bungsu saya.”
”Bapak sakit apa, Bu?” Kali ini aku tidak sedang berbasa-basi.
“Tidak tahu, Mbak, pihak rumah sakit tidak memberi tahu kami. Yang jelas, sakit Bapak parah, jadi harus dioperasi. Habis puluhan juta, karena Bapak dirawat di rumah sakit swasta. Waktu itu Bapak sudah sangat kesakitan. Saya tak tega melihatnya jadi terpaksa dibawa ke sana. Rumah sakit itu pelayanannya cepat. Tanpa proses administrasi dulu, pasien sudah langsung ditangani.”
Dan yang terjadi berikutnya adalah sebuah kisah pengorbanan. Bu Suhudi merelakan perhiasannya dijual untuk membayar biaya pengobatan suaminya. “Karena biayanya sangat mahal, perhiasan saya dijual untuk membiayai Bapak. Bahkan tabungan haji saya turut terpakai.”
Ujian tidak berhenti di situ. Selang beberapa bulan berikutnya, anak bungsu Bu Suhudi mengalami kecelakaan motor. Sang anak harus di-opname hampir satu bulan karena kakinya patah. “Uang tabungan kami habis, perhiasan emas yang saya punya juga terpakai untuk biaya pengobatan Bapak dulu. Harta kami yang tersisa ya… tinggal tabungan naik haji saya. Mau gak mau ya terpakai juga untuk biaya pengobatan anak saya itu.”
Lelaki bungsu dari keluarga Suhudi itu memang lain daripada yang lain dibandingkan enam kakaknya. Mengingat gaji Pak Suhudi di Depag tidak seberapa, anak-anaknya langsung kerja setelah lulus SMA. Mereka meneruskan kuliah atas biaya sendiri. Namun, dalam kasus si bungsu, Pak Suhudi dan Bu Suhudi mengeluarkan kocek untuk membiayai kuliahnya.
Setelah kecelakaan itu, si bungsu sempat drop. Semangatnya hilang, tidak mau meneruskan kuliah lagi, padahal ia tinggal menyelesaikan skripsinya. Sampai kemudian tebersit langkah Pak Suhudi untuk memotivasi.
“Bapak membujuknya agar bersemangat lagi dengan mengiminginya hadiah kalau sudah sembuh. Setelah sembuh, ia menagih janji pada Bapak. Ia minta motor baru, karena motor lamanya rusak terkena kecelakaan. Motor lamanya sendiri sebetulnya juga baru beli.”
Meski cukup diperbaiki di bengkel, anak Bu Suhudi bergeming; ia tetap menginginkan berganti motor. Tak tanggung-tanggung, ia mengidamkan motor Honda keluaran terbaru yang harganya 16 jutaan rupiah.
”Motornya baru saja datang di dealer, langsung anak saya beli. Uang dari mana saya untuk belikan motor kalau tidak mengambil dari uang tabungan haji? Kata Bapak, janji ya harus ditepati walaupun pada anak sendiri. Daripada ia putus kuliah, insya Allah suatu hari nanti ada rezeki lagi untuk berangkat haji, kata Bapak.”
Pintu berhaji sepertinya tertutup untuk Bu Suhudi. Setidaknya untuk tahun ini.
”Padahal hati saya sudah rindu sekali untuk berhaji. Saya sering bermimpi melihat Ka’bah. Tapi mau bagaimana lagi? Waktu itu kami sangat butuh biaya, anak-anak saya yang sudah mandiri semuanya sudah berkeluarga. Tidak mungkin saya meminta mereka untuk membantu sepenuhnya untuk pengobatan Bapak dan adik bungsu mereka, atau membantu biaya saya ke Tanah Suci.”
Kendati belum berhaji, jamaah masjid dan warga di sekitar At-Tauhid sering memanggil Bu Suhudi dengan ”Bu Haji.” Mereka bukannya tidak tahu bahwa yang telah berhaji barulah Pak Suhudi.
”Karena saya istri Bapak, dan saya mengajar ngaji, jadi ikut dipanggil ’Bu Haji.’ Saya sih senang saja dipanggil demikian, hitung-hitung sebagai doa masyarakat dan saya pun makin termotivasi untuk berangkat ke sana,” senyum polos tulus Bu Suhudi mengiringi perkataannya.
Usia Bu Suhudi sudah sepuh. Diperkirakan sekitar 65 tahun. Kalau dihitung-hitung, jika Bu Suhudi bisa melunasi biaya haji akan berlangsung cukup lama, mengingat suaminya hanya pensiunan Depag; belum lagi membiayai kuliah anak bungsunya. Mungkin sekitar delapan tahun lagi atau ketika usianya sudah mencapai 70 tahun lebih ketika biaya hajinya terlunasi.
* * *
Sebenarnya sejak kecil Bu Suhudi sudah tidak asing lagi dengan ritual haji. Maklum, orangtuanya guru agama. Pelajaran yang diterimanya masih terngiang hingga kini hingga menjadi beluncahan kerinduan ke Tanah Suci.
“Saya gak enak minta anak-anak untuk bantu saya berangkat haji. Insya Allah masih ada jalan rezeki buat saya pergi ke sana. Entah rindu ini sampai kapan akan terwujud, tapi saya percaya Allah akan memberikan kesempatan kepada hamba-Nya yang sangat merindukan Baitullah,” katanya tanpa pretensi.
Tidak muluk-muluk yang ingin dilakukan Bu Suhudi ketika di Tanah Suci.  Ini tak ada kaitannya dengan tipikal perempuan Yogya yang, konon, mudah menerima keadaan. ”Saya ingin berdoa di depan Ka’bah agar warga di sini mendapat hidayah dan kembali pada ajaran agama. Sudah banyak yang menyimpang.” Bu Suhudi lantas mencontohkan keberadaan peternakan babi yang, ironisnya, dimiliki dan dikelola oleh warga Muslim!
Saya melihat mata Bu Suhudi berair, menceritakan narasi cita-citanya ke Tanah Suci. Di usianya yang makin ringkih, kerja-kerja dakwah masih diembannya. Belum ada yang bisa menggantikan kedua pasangan ini mengajarkan agama yang hanif di Sembuh Kidul dan sekitarnya. Mereka juga masih aktif mengajarkan baca Al-Qur`an dari huruf hijaiyah bagi para manula; masih pula sering diundang untuk memberikan ceramah agama di berbagai tempat. Mereka selalu ikhlas dalam berdakwah, meski ada segelintir warga menghembuskan fitnah karena tidak menyukai sepak terjang keduanya dalam berdakwah.
Aku tak tahu apa yang terjadi jika desas-desus itu terdengar oleh pasangan dai itu. Mungkin hati mereka akan tersayat-sayat, atau justru malah dengan enteng memaafkan. ”Infak keropak masjid digunakan untuk kepentingan mereka,” tuduh seorang warga kepadaku suatu hari saat aku sedang berbelanja. Sungguh tuduhan yang sangat tidak mendasar, dan alhamdulillah beberapa tetanggaku juga tidak lantas memercayai rumor itu.
Aku melihat sendiri kesederhanaan gaya hidup suami-istri itu. Mereka ikhlas membaktikan diri untuk mengurusi masjid, mengajari mengaji dan mengajarkan agama tanpa fasilitas gaji ala pegawai negeri.
”Sudah tua, Mbak, apa yang kami cari dalam hidup ini selain hanya ingin beramal dan mendapat pahala untuk bekal di akhirat nanti?!” Bu Suhudi meretrospeksi diri soal motivasinya gigih menyebarkan ilmu, sekaligus tanpa disadarinya menjadi semacam klarifikasi atas fitnah yang tak berdasar itu.
Mungkin ketika berhaji atau ke Tanah Suci nanti, ia ingin pula mengadukan kisahnya pada Sang Khaliq; kisah tentang perjuangannya yang tersia-sia oleh warga yang mereka bina. Tapi aku yakin, ia tidak menaruh kebencian atau dendam pada warga. Terbukti, walaupun beberapa warga mencibir pasangan ini di belakang, Bu Suhudi bersama suaminya tetap terbuka menerima anak-anak dusun setempat untuk belajar mengaji dan shalat.
Di sisi lain, keinginan ke Baitullah, boleh jadi, menjadi kesempatan Bu Suhudi untuk mendoakan anak bungsunya agar lekas mandiri dan segera merampungkan kuliahnya, serta tentunya kebahagiaan anak-anak yang lain berikut cucu-cucunya. Aku percaya, banyak yang ia pinta jika di hadapan Baitullah nanti. Termasuk dari para tetangga di sekitar rumahnya.
Sebetulnya, Bu Suhudi tak ingin berpisah dengan suami tercintanya tatkala ke Baitullah. Ia berharap, ada kesempatan kedua bagi sang suami untuk menemaninya.  ”Selain ada pelindung, ada pembimbing yang haq,” argumentasinya, merendah.
Memang, mereka jarang berpisah untuk waktu yang lama. Tak perlu bilangan hari. ”Jika Bapak mendapat undangan ceramah, biasanya saya ikut menemani Bapak, kecuali jika larut malam. Jika berhaji sendiri, saya khawatir kurang khusyuk beribadah karena ingat Bapak terus. Bapak yang sakitnya sampai sekarang belum terdeteksi bisa saja sewaktu-waktu kambuh. Begitu juga dengan makanan, Bapak agak pilih-pilih makanan, ia tidak suka masakan orang lain, kecuali masakan istrinya.”
Optimisme Bu Suhudi, bagiku, sebuah pelajaran tentang pengorbanan dan kepasrahan pada Allah. Tentu setelah melalui proses ikhtiar. Tak muluk bagiku, selaku tetangganya, selain mendoakan pasangan sepuh itu. Aku berharap dan berdoa semoga Allah mengabulkan kerinduannya pergi menghadap-Nya di Baitullah. Dan tentunya, segena amal kebajikannya selama ini bisa memudahkannya untuk segera dipilih oleh Yang Kuasa sebagai tamu-Nya.
Walau usianya sepuh, badannya masih cukup bugar, mudah-mudahan Bu Suhudi masih sehat, sampai akhirnya Allah bisa memberangkatkannya ke Tanah Suci, insya Allah.
Labbaik Allah humma labbaik..........

0 komentar:

Posting Komentar