Pages

RSS

Minggu, 28 Maret 2010

Lelaki Penjaga Cinta (1)


Lelaki Penjaga Cinta: Setia Sampai Akhir


Bila cinta bertahta, yang tak mungkin menjadi mungkin
Peribahasa India

            “Bagaimana Kak? Bu Titi dan keluarganya sudah setuju tinggal keputusan Kakak” Tanya ayahku pada kakak sepupunya. Yang ditanya hanya tersenyum sambil merenung, langkah yang akan ia ambil terasa berat. Izin dari anak-anaknya sudah ia kantongi, namun ada sesuatu yang mengganjalnya. Dengan helaan nafas yang berat ia pun akhirnya memutuskan ”Sudahlah Yok, Kakak sudah tua, ingin ngurusi masjid dan anak-anak sajalah” jawabnya diplomatis.
            Orang tuaku berencana menjodohkan Uwak Salim yang merupakan kakak sepupu ayah dengan seorang janda cantik paruh baya di desaku. Suaminya baru beberapa bulan meninggal. Wak Salim pun sudah setahun menduda, istrinya meninggal karena diabetes.
            Usianya ketika Bu Ida -sang istri- meninggal, menginjak enam puluh tahun. Namun ia masih sehat bugar. Belajar dari penyakit sang istri, ia pun sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Uwak yang merupakan pensiunan karyawan perusahaan minyak Amerika mempunyai tabungan yang lebih dari cukup untuk membiayai hari tuanya, semua anaknya pun sudah berkeluarga dan banyak yang menjadi orang sukses. ”Mungkin ia akan kesepian” pikir ayahku, alasan ia berani menawarkan perjodohan itu.
            Hingga lima tahun kemudian setelah tawaran yang di tolaknya itu, ia sama sekali tidak bergeming. Tetap pada keputusannya semula, tak mau menikah lagi dengan siapapun, meski saudara-saudara yang lain seperti berlomba-lomba mencarikan pengganti istrinya.
 Dua sampai tiga kali dalam setahun ia selalu datang ke desaku untuk ta’ziah ke makam istrinya, sesekali menginap dirumahku, namun tak jarang langsung pulang kembali ke tempat tinggalnya di sebuah kota di pesisir pantai selatan, Jawa Tengah.
            Suatu hari kami dikejutkan oleh berita mengenai pembantu Uwak yang berasal dari desa kami, hamil tanpa suami. ”Pasti majikannya yang menghamili cucu saya” Tuduh seorang nenek yang merupakan nenek si pembantu ”Buktinya cucu saya manggil dia ayah, lagipula ia telah lama menduda, ia pasti tak tahan dan menodai cucu saya” fitnahnya pedas. Tentu saja kabar itu cepat menyebar secepat angin berhembus.
            Karuan keluargaku kalang kabut mencari kebenaran berita tersebut. Tak percaya jelas menyelubungi hati kami, ”Tidak mungkin, wak Salim melakukan perbuatan nista seperti itu, ia kan orang yang taat beribadah” pikirku. Melihat background pendidikannya dulu, yang pernah nyantri di perguruan Muhammadiyah di sebuah kota di Sumatra, mustahil rasanya ia berbuat tak senonoh.
”Ini salah faham” ibuku mencoba menjelaskan kepada keluarga gadis itu ”Semua orang yang bekerja di rumahnya memanggilnya dengan sebutan ayah” terang ibuku. ”Gadis sudah dianggap anaknya sendiri” namun keluarga itu terutama sang nenek tetap tak percaya, ia masih saja memfitnah wa Salim, hampir semua orang sekampung tahu aib itu. Di saat yang sama gadis itu telah kabur dari rumah Uwak, sehingga permasalahan makin ruwet. Tak jelas alasan kenapa si gadis kabur.
Keluargaku makin dirongrong oleh keluarga si gadis, di lain pihak Uwak yang jadi saksi kunci juga tak bisa dihubungi. Zaman itu handphone tidak sesemarak sekarang, kami hanya bisa berkomunikasi lewat telepon. ”Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan area,” bunyi operator telepon yang terdengar tiap kami berusaha menghubungi Uwak. Keraguan pun lambat laun menggelayungi hati kami.
***
            ”Gimana ini Kak?” tanya ayahku yang kalut, ketika akhirnya wak Salim datang ke desa kami untuk menjernihkan permasalahan ”Keluarganya minta kakak untuk bertanggung jawab”
            ”Iya, Kakak akan bertanggung jawab, Kakak akan menikahkan dia dengan seseorang” jawabnya santai
            ”Tapi, orang-orang di sini percaya kalau kakak yang menghamili gadis itu,” ayahku menyela
            ”Haha... kamu percaya Yok?” Ia malah balik bertanya pada ayahku ”Kakak sudah menemukan gadis itu, ia kabur bersama pacarnya, supir angkutan yang sudah beristri. Sebagai majikan kakak memang bertanggung jawab karena lalai menjaga pekerja kakak hingga ia hamil. Makanya kakak bertanggung jawab. Tapi bukannya menikahinya” sangkalnya.
Ia menambahkan ”Lagi pula kakak tidak bisa menghamili siapapun, sewaktu istri kakak di rawat di rumah sakit sebelum meninggal, kakak memutuskan untuk di vasektomi atau istilah kita nya sih di kebiri” jelasnya, sambil tersenyum geli ia pun pergi meninggalkan kami yang termenung ke belakang.
            Luar biasa pengorbanannya demi menjaga cinta pada sang istri yang telah lama pergi. Menurut cerita ayahku yang dulu sama-sama merantau ke pulau Sumatera, pernikahan wa Salim dengan istrinya itu memang sempat di tentang oleh orang tua sang istri, karena waktu itu wa Salim belum mapan dan masih kuliah. Namun karena kadung cinta, bu Ida nekat meninggalkan keluarganya untuk menikah dengan wa Salim.
            Ia sangat setia mendampingi suaminya dari bawah hingga menjadi manajer di sebuah perusahaan minyak Amerika, posisinya cukup tinggi bagi seorang pribumi, tak pernah menyesal dengan keputusannya terdahulu meski terasingkan dari keluarga tercintanya. Oleh karenanya, wa Salim membalasnya dengan cinta yang tak ternilai dan kesetiaan yang tak diragukan hingga sekarang, hingga ia pun rela kejantanannya di sterilkan.
Terjawab sudah mengapa ia dulu menolak untuk menikah lagi. Ia sangat menjaga perasaan sang istri, dan hingga detik ini pun, ia dengan setianya menanti waktu perjumpaan itu tiba, berkumpul kembali dengan belahan jiwanya.

0 komentar:

Posting Komentar